Mengapa Mimpi China Jadi Raja Sepakbola Dunia Hancur Lebur

Mengapa Mimpi China Jadi Raja Sepakbola Dunia Hancur Lebur

Kekalahan telak dan skandal korupsi membuat ambisi sepakbola China runtuh. Sistem top-down yang kaku, minimnya budaya akar rumput, dan tata kelola buruk jadi penyebab utama.


Bencana di Saitama dan Awal Keruntuhan

Pada malam panas di Saitama, Jepang, September 2024, tim nasional China mencapai titik terendah. Skor 7-0 melawan Jepang jadi kekalahan terburuk mereka di kualifikasi Piala Dunia. Ketika Takefusa Kubo mencetak gol terakhir, para pemain China nyaris tak bereaksi. Seolah mereka ingin pertandingan berakhir secepatnya.

Sayangnya, itu bukan satu-satunya kekalahan memalukan. Sebelumnya, China kalah dari Oman, Uzbekistan, hingga Hong Kong. Tak lama setelahnya, puluhan pemain, pelatih, dan pejabat ditangkap karena kasus korupsi, pengaturan skor, dan judi. Ini semua terjadi saat China masih mencoba bangkit lewat reformasi sepakbola nasional.

Kekalahan 2-0 dari Australia di kandang sendiri hanya memperpanjang daftar luka. Padahal, beberapa tahun lalu, Presiden Xi Jinping sempat memimpikan China lolos, menjadi tuan rumah, bahkan menjuarai Piala Dunia.


Mimpi Xi Jinping: Dari Harapan Tinggi ke Realita Pahit

Sejak 2012, Xi Jinping meluncurkan ambisi besar: China harus menjadi kekuatan sepakbola dunia. Tapi satu dekade kemudian, bahkan Xi sendiri menyebut kemenangan atas Thailand sebagai “keberuntungan.” Apa yang salah?

Jawabannya: hampir semuanya.

China menerapkan pendekatan top-down yang terbukti berhasil di bidang ekonomi, tapi gagal total di olahraga beregu. Alih-alih membiarkan sepakbola tumbuh dari komunitas, negara malah mengontrol segalanya dari atas. CFA (Asosiasi Sepakbola China) seharusnya otonom, tapi tetap tunduk pada administrasi olahraga nasional. Presiden CFA bahkan merangkap jabatan sebagai pejabat partai.


Sepakbola Tanpa Akar Rumput

Masalah terbesar sepakbola China? Tidak punya akar rumput.

Di Inggris, Brasil, atau Argentina, sepakbola dimulai di jalanan dan taman. Anak-anak bermain karena cinta, bukan karena target negara. Di China, sebaliknya. Semua dari atas, bukan dari bawah.

Statistiknya bikin miris: Inggris punya 1,3 juta pemain terdaftar, China cuma 100 ribuan. Tak heran, talenta elit sulit ditemukan. Di Eropa, anak-anak belajar sepakbola lewat pengalaman. Di China, mereka dilatih terlalu kaku, tanpa ruang untuk kreativitas.

Seorang pemain asing yang pernah merumput di Liga China bilang: “Pemain China teknisnya oke, tapi lemah dalam pengambilan keputusan. Mereka tidak instingtif.”


Korupsi dan Tata Kelola yang Amburadul

Kasus korupsi terbaru di liga domestik memperburuk citra sepakbola China. Investigasi selama dua tahun membongkar praktek suap, pengaturan skor, hingga perjudian. Semua ini membunuh kepercayaan publik dan menghancurkan upaya pembenahan.

Investasi besar-besaran dari perusahaan negara di era 2010-an sempat mengundang bintang top dunia ke Liga Super China. Tapi ketika ekonomi melambat, dana juga surut. Banyak klub bubar, dan infrastruktur yang dibangun tak berkelanjutan.

Pendekatannya instan: beli nama besar, bukan bangun fondasi. Akibatnya, ketika uang berhenti mengalir, semuanya ambruk.


Tim Wanita Jadi Harapan, Tim Pria Jadi Beban

Meski tim pria terus mengecewakan dan kini terdampar di peringkat 90 dunia, tim wanita justru tampil lebih stabil. Mereka sempat berada di peringkat 17 dan mendapat dukungan publik yang besar.

Pada Piala Dunia 2023, meski kalah telak dari Inggris, lebih dari 50 juta penonton menyaksikan laga itu di China. Ini bukti bahwa cinta masyarakat pada sepakbola masih ada—hanya saja belum disalurkan dengan benar.


Budaya Sepakbola yang Belum Lahir

Sepakbola bukan soal strategi semata, tapi juga budaya. Anak-anak di Brasil bermain di gang sempit. Di Inggris, sepakbola jadi bagian dari sekolah dan komunitas. Di China, sepakbola masih dianggap proyek negara. Pendidikan terlalu fokus akademik, olahraga hanya pelengkap. Fasilitas minim, lapangan terbatas.

Pemerintah memang sudah membangun akademi dan mendatangkan pelatih asing, tapi fokusnya tetap ke hasil cepat. Tidak ada proses panjang yang konsisten. Akhirnya, akademi hanya jadi etalase, bukan tempat lahirnya bintang masa depan.


Masa Depan Masih Ada, Tapi Jalannya Terjal

Mimpi China jadi raksasa sepakbola belum mati, tapi jalannya panjang. Perlu perubahan besar, mulai dari:

  • Bangun budaya akar rumput: Perbanyak lapangan, program sekolah, dan kompetisi lokal. Biarkan anak-anak bermain, bukan dipaksa menang.
  • Otonomi untuk CFA: Bebas dari tekanan politik, dipimpin oleh orang sepakbola, bukan pejabat.
  • Tegas soal korupsi: Tanpa bersih-bersih, tak akan ada perubahan nyata.
  • Investasi jangka panjang: Fokus ke pelatih lokal, akademi, dan liga bawah, bukan sekadar bintang asing.

China punya modal: populasi besar, ekonomi kuat, dan fanbase setia. Tapi tanpa reformasi total, sepakbola China akan terus jadi proyek gagal. Seperti kata Mark Dreyer, pengamat olahraga di Beijing: “Sepakbola bukan soal perintah dari atas. Ia harus tumbuh sendiri, dari bawah.”


Goalpedia.me – Di balik skor, ada cerita.