Real Madrid yang disebut-sebut sebagai “Skuad Terbaik Eropa” justru mengakhiri musim 2024/25 tanpa satu pun trofi besar. Apa yang salah? Goalpedia.me mengupas tuntas.
Madridistas harus menerima kenyataan pahit: Real Madrid kehilangan segalanya musim ini. Gelar LaLiga jatuh ke tangan Barcelona, Copa del Rey gagal diraih, dan mimpi Liga Champions kandas terlalu dini. Meskipun mereka mengangkat Piala Super UEFA dan Piala Interkontinental FIFA, dua gelar itu terasa hambar karena bukan itu tujuan utama Los Blancos.
Padahal, musim lalu Real Madrid terlihat siap memulai era dominasi baru. Mereka mendatangkan Kylian Mbappe, menggabungkannya dengan talenta muda seperti Jude Bellingham, Vinicius Jr., Rodrygo, hingga bintang baru asal Brasil, Endrick. Di atas kertas, ini adalah tim impian. Tapi sayangnya, sepak bola tidak dimainkan di atas kertas.
Berikut enam alasan utama mengapa Real Madrid 2024/25 gagal total — dan mengapa Xabi Alonso punya pekerjaan rumah besar musim depan.
1. Efek Domino Mbappe
Akhirnya datang juga. Setelah bertahun-tahun saga transfer, Mbappe mendarat di Santiago Bernabeu dan langsung tancap gas. 39 gol di semua kompetisi menjadi bukti betapa berbahayanya sang bintang Prancis.
Tapi, ada harga mahal yang harus dibayar. Mbappe dan Vinicius Jr. sama-sama nyaman di sayap kiri, dan alih-alih mengisi peran sebagai penyerang tengah, Mbappe lebih sering bergerak ke sisi favoritnya. Akibatnya, struktur serangan Madrid jadi timpang.
Bellingham, yang musim lalu jadi mesin gol dari lini tengah, hanya mencetak 8 gol LaLiga musim ini. Rodrygo? Tersisih dan tak konsisten. Mbappe memang bersinar, tapi kilau itu menyilaukan rekan-rekannya sendiri.
2. Vinicius: Tur Balas Dendam yang Gagal
Kedatangan Mbappe membuat Vinicius terdesak. Meski angkanya masih solid (36 kontribusi gol musim ini), permainannya tidak seefektif sebelumnya. Ia terlihat memaksakan diri, mencoba membuktikan bahwa Ballon d’Or yang lolos dari tangannya adalah sebuah kesalahan.
Hasilnya? Permainan yang egois, sembrono, dan membuat frustrasi pelatih. Ancelotti berkali-kali terlihat gusar di pinggir lapangan, memarahi Vini yang tak turun bertahan. Jika Madrid ingin bangkit musim depan, kunci utamanya adalah mengembalikan Vinicius ke performa terbaik — dan membuatnya cocok dengan Mbappe.
3. Badai Cedera yang Tak Kenal Ampun
Tak ada tim yang sepenuhnya aman dari cedera. Tapi Madrid? Mereka benar-benar sial. Di pertengahan musim, sisi kanan pertahanan hilang total. Dani Carvajal dan Eder Militao sama-sama mengalami cedera ACL. David Alaba juga belum sepenuhnya pulih sejak cedera panjang.
Lini tengah dan belakang kehilangan sosok penting secara bergantian: Camavinga, Mendy, Rudiger, dan bahkan Bellingham semua berkutat dengan cedera. Akibatnya? Formasi darurat, pemain di luar posisi, dan penurunan kualitas yang drastis.
4. Toni Kroos, Lubang yang Tak Tertambal
Ketika Kroos mengumumkan pensiun, semua orang tahu Madrid akan kehilangan sesuatu yang besar. Tapi tak ada yang menyangka bahwa kehilangan itu akan separah ini. Madrid kehilangan kendali di lini tengah, kehilangan ritme, dan kehilangan otak permainan mereka.
Entah mengapa, manajemen memilih tidak mendatangkan pengganti sepadan. Akibatnya, transisi dari bertahan ke menyerang jadi berantakan. Dan tanpa Kroos, tak ada yang bisa mengatur tempo permainan dengan ketenangan yang sama.
5. Pertahanan Loyo = Petaka
Apa yang terjadi saat tim kehilangan keseimbangan, tekanan, dan organisasi? Jawabannya: kebobolan. Banyak.
Madrid terlihat mudah sekali ditembus. Tak hanya oleh tim besar seperti Barcelona atau Arsenal, tapi juga oleh tim papan tengah. Contohnya? Gol pembuka Martin Valjent untuk Mallorca, di mana ia bisa menggiring bola dari pertahanan sendiri hingga kotak penalti Madrid tanpa ada yang menghentikan.
Cedera memang berperan, tapi ini adalah masalah struktur tim. Lini tengah tak memberikan perlindungan, dan bek tengah kerap dibiarkan sendirian menghadapi serangan cepat lawan.
6. Barcelona: Mimpi Buruk yang Tak Berakhir
Tak lengkap rasanya membahas kegagalan Madrid tanpa menyebut kebangkitan sang rival abadi.
Barcelona musim ini tampil mengejutkan. Di tangan Hansi Flick, mereka tampil tajam, cepat, dan haus kemenangan. Pemain muda seperti Lamine Yamal dan Pedri bersinar, Raphinha konsisten, dan Lewandowski seolah menemukan kembali naluri membunuhnya.
Madrid dipermalukan empat kali oleh Barca musim ini. 16 gol bersarang dari empat laga, termasuk final Copa del Rey dan Supercopa. Dominasi total — dan tamparan keras bagi Los Blancos.
Apa Selanjutnya?
Xabi Alonso ditunjuk menggantikan Ancelotti. Sebuah keputusan berani, tapi masuk akal. Alonso mengenal DNA Madrid, punya pengalaman sebagai pelatih, dan dihormati pemain. Tugasnya? Menyatukan ego-ego besar di ruang ganti, memperbaiki struktur pertahanan, dan mencari pengganti Kroos.
Madrid punya segalanya untuk bangkit — tapi musim ini jadi pengingat bahwa bintang di atas kertas tak berarti apa-apa jika tak terorganisir di lapangan.
Nantikan analisis eksklusif selanjutnya hanya di Goalpedia.me!